Pada zaman dahulu kala, di suatu tempat di Jepang, hiduplah seorang petani muda yang miskin. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia sehingga ia hidup sebatang kara. “Sekarang karena aku hanya sendirian, tinggal di rumah ini percuma saja. Aku harus pergi ke suatu tempat untuk mencari kerja, menjadi orang dan hidup mapan,” begitulah pikir si pemuda.
Ia memandangi seisi rumahnya dan hanya menemukan seikat jerami. Pemuda itu meninggalkan rumah sambil membawa seikat jerami.
“Ah, bahkan jerami ini pun adalah hartaku dan aku tidak bisa meninggalkannya. Aku akan membawanya bersamaku.”
Si pemuda berjalan menyusuri jalanan di kaki sebuah gunung. Kemudian ia berjumpa dengan seorang pembakar arang yang sedang membuat arang. Si pembakar arang membutuhkan jeraminya.
“Maukah kau menjual jeramimu? Aku kehabisan jerami untuk mengikat bongkahan-bongkahan arangku, dan aku bingung harus bagaimana.”
“Oh, kalau begitu, silahkan pakai jeramiku.”
Si pembuat arang langsung menolak. “Ah, tidak, tidak, tidak! Aku tidak bisa menerimanya dengan cuma-cuma. Ada arang disini, jadi ambillah ini sebagai imbalan untuk jerami ini.”
“Aku tidak butuh arang, tapi karena engkau telah baik hati menawarkannya kepadaku, aku akan menerimanya.”
Setelah berkata demikian, pemuda tersebut memasukkan arang ke dalam sebuah keranjang dan melanjutkan perjalanannya.
Beberapa lama kemudian, ia bertemu dengan seorang pandai besi yang tengah membuat sebilah pedang. Si pandai besi melihat pemuda itu lewat dan memanggilnya.
“Hei, kau disana! Apakah yang kau bawa itu arang?”
“Ya, betul.”
“Bolehkah aku meminta arangmu? Aku sedang membuat pedang. Sekarang sudah hampir selesai, tapi aku kehabisan arang.”
Pemuda itu memberi arangnya kepada si pandai besi dengan berkata, “Tentu saja. Tidak apa-apa.”
Dan pandai besi itu gembira sekali. “Terima kasih, aku terbantu sekali. Sekarang, aku bisa menyelesaikan pedang ini . Aku ingin memberi sesuatu untukmu sebagai imbalannya. Tapi, aku tidak punya sesuatu yang istimewa, dan ada beberapa pedang disana. Jadi pilihlah yang kau suka.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku ambil yang ini.” Pemuda itu mengambil sebilah wakizashi atau pedang pendek dan melanjutkan perjalanannya.
Beberapa waktu kemudian, ia berpapasan dengan seorang ksatria samurai yang menunggang kuda. Samurai itu melihat pedang pendek di pinggang pemuda itu.
“Hei, kau pengembara. Pedang pendekmu kelihatannya bagus sekali. Bolehkah aku memilikinya? Aku punya pedang utama, tapi tidak punya pedang pendek pelengkapnya. Berapa harganya?”
“Tidak, tidak! Pandai besi disana memberikanku pedang ini dengan cuma-cuma. Semua berawal dari seikat jerami. Aku menukarnya dengan arang, dan arang itu ku tukar dengan pedang di pandai besi. Jadi, kau tidak perlu membayarku.”
Mendengar hal itu, samurai tersebut sangat terkesan. “Kau pria yang sangat jujur. Banyak orang di dunia yang akan menipu untuk merebut uangmu, tapi kau mengatakan kepadaku aku tidak perlu membayarmu. Aku akan pergi ke medan perang dan mungkin akan mati. Aku punya seorang anak dan penerus di rumah. Tapi dia masih muda dan lemah. Jika aku mati, maukah kau menjadi penerusku dan merawat putraku? Jika aku kembali dengan selamat, aku akan menjadikanmu penerus keluargaku.”
Samurai itu turun dari kuda, menulis surat pada saat itu juga di tempat itu, dan menyerahkannya kepada si pemuda. “Bawalah surat ini dan tunjukkan kepada keluargaku. Tidak akan ada yang menentangnya.”
Pemuda itu menerima surat tersebut dan pergi ke rumah yang ditunjukkan oleh samurai. Rumah itu megah sekali. Si pemuda menunjukkan surat sang samurai kepada keluarganya dan mereka menyambutnya.
“Kami tidak keberatan. Tinggallah bersama kami. “
Dan demikianlah. Pemuda itu pun menjadi penerus keluarga samurai. Samurai yang telah mempercayakan segalanya kepada si pemuda tewas di medan perang dan konon pemuda itu menjadi samurai yang hebat.
[Cerita ini dibacakan di Radio NHK World Edisi 28 Februari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar